23 September 2020, Jakarta. Laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara (GPSEA) mengenai penilaian sektor kelistrikan memperlihatkan kepentingan terselubung industri batu bara, perubahan kebijakan yang tidak menentu, dan hambatan politik untuk energi surya dan angin berdampak serius bagi respons terhadap perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara.

Laporan ini mengkaji sektor kelistrikan di delapan negara Asia Tenggara, di mana pada dasarnya, tidak ada negara yang berada di jalur tepat untuk mencapai target 1,5 derajat Celcius, tanpa perubahan peraturan dan bauran energi yang signifikan. Hasil kajian menunjukkan, Vietnam memiliki kinerja terbaik, sedangkan Indonesia memiliki kinerja terburuk.

Implementing Solar Power Indonesia. © Greenpeace / Hotli Simanjuntak
© Greenpeace / Hotli Simanjuntak

“Krisis iklim menuntut tindakan nyata dan Indonesia semakin tertinggal. Pembuat kebijakan perlu menetapkan dasar untuk pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja. Untuk energi, itu berarti analisis yang tidak bias pada energi surya. Di Vietnam, kita dapat melihat bahwa energi surya telah menciptakan lapangan kerja dan meletakkan pondasi untuk pertumbuhan. Di Indonesia, dukungan kebijakan dan stimulus fiskal terhadap energi surya memiliki potensi yang sama untuk pelaksanaan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan,” kata Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara.

Metode penilaian pada laporan ini memetakan skenario yang berjalan seperti biasa (business-as-usual) dan studi kasus energi terbarukan terbaik di delapan negara – Indonesia, Vietnam, Thailand, Filipina, Malaysia, Laos, Kamboja, dan Myanmar – menggunakan panduan mencapai 1,5 derajat Celcius dari International Panel on Climate Change (IPCC). Penilaian ini melihat transisi energi di setiap negara, pengecualian bahan bakar fosil, pengembangan pasar tenaga surya dan angin, kebijakan dan harga, persaingan, dan kemajuan standar stimulus Covid-19.

Di kawasan Asia Tenggara, Vietnam memimpin desain pasar tenaga surya dan angin – skema feed-in-tariffs (penetapan harga energi berdasarkan biaya produksi) membawa kapasitas tenaga surya Vietnam dari 134 megawatt (MW) pada 2018 menjadi 5.500 MW pada akhir 2019. Catatan menarik, industri tenaga surya dan angin di negara itu membantu menyerap  guncangan ekonomi akibat dari pandemi Covid-19 dan melindungi ekonominya dari volatilitas harga gas, batu bara, dan minyak mentah global [1]. Energi terbarukan juga terbukti menciptakan lapangan kerja tiga kali lebih banyak daripada batu bara di setiap mata rantai. Akan tetapi, secara global, Vietnam masih tertinggal dan sangat perlu membatalkan sebagian besar rencana batubaranya, di mana negara ini masih menjadi yang terbesar kedua di kawasan setelah Indonesia.

Sementara untuk Thailand, Filipina, dan Malaysia, meskipun kinerjanya buruk secara keseluruhan dan hanya memiliki sedikit komitmen untuk transisi energi, masih dapat mengikuti jejak Vietnam, tetapi harus segera mengambil kebijakan untuk menghentikan pembangunan pembangkit batu bara dan gas baru.

Indonesia adalah satu-satunya negara yang, karena kurangnya perubahan sistemik [2], tidak memiliki peluang untuk berada di jalur target 1,5 derajat pada tahun 2050. Undang-undang dan subsidi pro-batubara yang baru akan memperkuat kegagalan itu.

“Perusahaan listrik milik negara, PLN, menjadikan monopoli terhadap listrik menjadi dukungan terhadap bisnis batu bara. Dan dukungan negara yang terus berlanjut untuk industri batu bara yang sangat merugikan dan terlilit utang besar telah merusak pertumbuhan energi terbarukan. PLN mengatakan bahwa keduanya bisa berjalan beriringan, tetapi faktanya dukungan hanya diberikan kepada salah satunya saja. Kita perlu mengeksklusi batu bara dan gas baru, dimulai dengan stimulus Covid-19 dan menetapkan target 50% energi terbarukan pada tahun 2030 dalam rencana energi tahun depan,” tegas Tata.

Menurunnya konsumsi energi pada masa pandemi ini menghadirkan peluang untuk menyusun ulang bauran energi. Pemasaran tenaga surya dan angin secara online dengan cepat, terbukti menyediakan tenaga kerja tinggi, dan memiliki biaya perawatan yang rendah serta tidak ada biaya bahan bakar yang membuat mereka berisiko terhadap sejumlah fluktuasi harga yang kita lihat di tahun 2020. Sejauh ini, hanya Malaysia yang memposisikan tenaga surya dan investasi angin sebagai stimulus ekonomi – tetapi belum ada rencana detail yang dirilis.

Kantor Greenpeace di Thailand dan Indonesia menyerukan pemulihan ekonomi yang hijau dan adil di masing-masing negara, sementara pemulihan ke kondisi normal yang lebih baik yang disuarakan Greenpeace Filipina berfokus pada pengecualian bahan bakar fosil dan langkah-langkah konkret menuju masyarakat bebas karbon.

“Kita perlu meningkatkan target energi terbarukan menjadi 50% dari keseluruhan bauran energi pada 2030 – contoh Vietnam telah mematahkan banyak mitos lama tentang pengembangan tenaga surya dan ‘bankability’ energi surya di Asia Tenggara. Pada 2020, tidak ada lagi alasan untuk tidak memiliki perjanjian jual beli tenaga surya dan angin,” kata Chariya Senpong, pemimpin tim transisi energi Greenpeace Thailand.

SELESAI

Catatan:

[1] Dari laporan penilaian kelistrikan di Asia Tenggara: tenaga surya dan angin memiliki biaya di muka yang padat modal, tetapi menurut definisi tidak ada biaya bahan bakar berkelanjutan. Dengan demikian, hal ini menghindari volatilitas harga bahan bakar dan kebutuhan pengelolaan biaya bahan bakar, seperti pembatasan harga batu bara untuk PLTU di Indonesia. Meneliti tingkat biaya listrik (LCOE) yang tersedia untuk lima negara terbesar di kawasan ini, tenaga surya tanpa subsidi sekarang lebih murah daripada tenaga batu bara dan gas tanpa subsidi di Thailand, Filipina, dan Vietnam, menurut Bloomberg New Energy Finance (BNEF), dan lebih mahal di Malaysia dan Indonesia. Penurunan biaya tenaga surya dan angin terjadi dengan cepat dan diperkirakan akan terus berlanjut seiring kemajuan teknologi yang meningkatkan efisiensi.

[2] Di Indonesia, miliaran dolar subsidi kepada perusahaan minyak dan gas milik negara Pertamina dan perusahaan listrik yang terbebani utang, PLN, mengarahkan anggaran stimulus kepada para konglomerat bahan bakar fosil. Hal ini memulai kembali siklus tragis utang Indonesia, kelebihan kapasitas, dan krisis kesehatan masyarakat yang mencemari udara, kali ini diperburuk oleh RUU Cipta Kerja dan UU Minerba baru yang melemahkan perlindungan sosial dan lingkungan.

Laporan penilaian sektor ketenagalistrikan di Asia Tenggara bisa dibaca di sini.

Lembar penilaian bisa dibaca di sini

Foto terkait di link berikut

Ringkasan eksekutif dalam Bahasa bisa dibaca di sini

Film dokumenter mengenai PLN yang diproduksi Greenpeace Indonesia bersama Watchdoc bisa ditonton di sini

Kontak media:

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, +62812-9626-997, [email protected] 

Ester Meryana, Jurukampanye Media Greenpeace Indonesia, +62-811-1924-090, [email protected] 

Greenpeace International Press Desk, [email protected], phone: +31 (0) 20 718 2470 (available 24 hours)